Catatan Arief Budi Hernawan
Selasa, 12 Mei 2020
Tugas Goal Setting PKWU Kelas XI
Assalamualaikum anak-anak untuk Tugas Goal Setting dapat diakses Disini
Pernah dengar Dropship Reseller?
Untuk memulai suatu usaha, kita biasanya berfikir usaha apa yang modalnya kecil dan resikonya kecil? Nah, saat mencoba mencari tahu biasanya akan ketemu dengan istilah dropship dan reseller, yang katanya modalnya kecil. Lalu, apakah Dropship dan reseller itu? Dalam materi ini akan sedikit dibahas mengenai keduanya.
Masih banyak yang mengatakan bahwa dropship dan reseller adalah sama. Namun nyatanya dropship dan reseller merupakan dua hal yang berbeda, meskipun terdapat kesamaan dalam sistem kerjanya. Agar dapat lebih memahami perbedaan keduanya dengan benar, ada baiknya kita membahas pengertian dropship dan reseller terlebih dahulu.
Apa Itu Dropship dan Reseller?
Di artikel mengenai pengertian dropship, dijelaskan bahwa dropship adalah kegiatan menjual suatu barang/produk, dimana si penjual tidak memiliki persediaan/stok barang sama sekali. Sedangkan reseller adalah kegiatan menjual kembali suatu barang/produk yang dibeli dari supplier, dimana si penjual memiliki persedian/stok barang yang akan dijual. Dari pengertiannya saja anda pasti sudah mulai mengetahui perbedaannya, yakni terletak pada barang atau produk yang dijual. Apabila dropship tidak menyimpan barang/produk sebagai stok, maka seorang reseller memiliki barang/produk untuk dijadikan stok. Reseller ini juga biasa disebut dengan pengecer.
Sistem Kerja Dropship dan Reseller
Meskipun berbeda, namun cara kerja kedua bisnis online ini hampir sama. Untuk memahaminya, coba anda perhatikan dua gambar di bawah ini sebagai perbandingan.
Bila anda perhatikan cara kerja keduanya hampir mirp, namun terdapat sedikit perbedaan. Dalam kasus dropshipping (kegiatan dropship), konsumen memesan barang ke dropshipper (pelaku dropship) dan mentransfer uang, kemudian dropshipper akan melanjutkan pesanan dan menyerahkan uangnya ke supplier atau produsen atas nama konsumen, setelah itu supplier akan mengirimkan pesanan ke alamat konsumen.
Sedangkan dalam reseller, pelaku reseller harus membeli barang terlebih dahulu ke supplier atau prosuden untuk dijadikan stok. Kemudian reseller akan menjual kembali barang/produk yang baru saja dibeli. Bila ada konsmen yang membeli, maka reseller akan mengirimkan barang pesanan tepat ke alamat konsumen. Jadi dapat disimpulkan perbedaan yang paling utama antara dropship dengan reseller adalah, reseller harus menyediakan stok barang sedangkan dropship tidak. Selain itu reseller yang mendapat orderan dari konsumen, bisa langsung mengirimkannya tanpa harus menghubungi supplier. Sedangkan dropshipper yang mendapat orderan dari konsumen, akan memberitahukan supplier yang kemudian barang dikirim dari supplier.
Kelebihan dan Kekurangan Dropship Serta Reseller
Kelebihan dan kekurangan dropship
Bisnis dropship terkadang dikenal sebagai bisnis tanpa modal dan minim resiko kerugian, selain itu bisnis ini juga sangat diminati bagi mereka yang baru terjun ke dunia bisnis. Sebab sangat mudah dan dengan kelebihan yang ditawarkan. Berikut adalah beberapa kelebihan dari bisnis dropship:
Tidak memerlukan modal yang besar, bahkan bisa tanpa modal. Sebab dropshipper tidak perlu membeli stok barang sama sekali. Yang harus diperlukan hanyalah sebuah gadget (laptop, hp, dll) dan juga internet untuk mempromosikan produk.
Tidak repot mengurus barang atau urusan mengantar, cukup serahkan data pesanan ke supplier dan supplier yang menyelesaikannya.
Bila barang tidak laku, maka resiko kerugian sangat minim. Sebab kita tidak membeli persedian barang sama sekali.
Bisa mengganti supplier bila dirasa kurang cocok, dan bisa juga memiliki lebih dari satu supplier sesuai dengan keinginan. Selain itu pekerjaan ini bisa dilakukan kapanpun dan dimana pun.
Meskipun begitu bisnis dropship ini juga memiliki beberapa kekurangan, berikut kekurangannya:
Tidak tahu stok barang yang ready apa saja, sebab dropshipper tidak memiliki stok sama sekali dan jarang menemukan supplier yang menyediakan tabel stok secara online dan selalu update.
Karena tidak memegang barang langsung, maka dropshipper tidak mengetahui kualitas barang. Bisa saja barang yang dikirimkan memiliki cacat sedikit, atau salah kirim, dll. Sehingga resiko terkena komplain konsumen sangat tinggi.
Tidak memiliki kendali penuh terhadap stok dan tidak bisa mempromosikan barang secara langsung.
Selain itu terkadang ada juga konsumen yang minta difotokan langsung dengan produknya, sebab mereka sadar foto yang dipajang itu merupakan foto yang sudah di bookmark di online shop tertentu.
Keuntungannya tidak terlalu besar. Sebab dropshipper tidak bisa menaikan harga sesuka hati, karena akan merusak kepercayaan konsumen. Biasanya dropshipper hanya bisa menetapkan harga yang tak jauh dari harga yang ditetapkan supplier.
Kelebihan dan kekurangan reseller
Bisnis reseller ini bisa dikatakan pilihan bagi mereka yang menginginkan keuntungan yang lebih besar. Berikut adalah beberapa kelebihan reseller:
Karena barang ada di tangan, maka reseller mengetahui jumlah persediaan/stok barang, sehingga reseller bisa lebih leluasa untuk memberitahukan stok barang yang ready atau yang sold out.
Sangat percaya diri untuk menjual barang/produk. Sebab reseller mengetahui kualitas dan detail barang secara pasti, apakah ada kecacatan atau tidak, dan sebagainya.
Reseller diuntungkan dalam menjual barang/produk, karena bisa dilakukan secara online maupun offline. Dalam kegiatan promosi reseller juga bisa menawarkan barang/poduk secara langsung kepada konsumen.
Keuntungan yang didapat jauh lebih besar ketimbang dropship. Sebab reseller mendapatkan harga yang sangat kompetitif dari pembelian barang/produk dalam jumlah banyak kepada supplier. Sehingga reseller bisa menaikan selisih harga penjualan lebih tinggi dari dropship.
Selain itu diskon yang yang didapatkan reseller lebih besar dibandingkan dropshipper, sehingga keuntungan yang didapat menjadi bertambah.
Disamping banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh bisnis reseller, terdapat beberapa kekurangan yang perlu diketahui, diantaranya:
Modal yang dibutuhkan tidak sedikit, terkadang agak besar. Seperti modal untuk membeli persediaan barang/produk, membeli kemasan produk, dsb.
Harus repot dalam urusan membeli barang persediaan, proses pengemasan barang, serta pengiriman barang.
Reseller memiliki resiko kerugian yang tinggi dibandingkan dengan dropshipper. Sebab bila barang dagangan tidak laku, maka reseller akan mengalami kerugian yang cukup besar.
Seperti itulah perbedaan antara dropship dengan reseller. Sekarang mau pilih yang mana, itu tergantung kebutuhan anda. Bila anda masih baru dalam bisnis online dan dengan modal yang terbatas, mulailah dengan dropship terlebih dahulu. Sebab dropship sangat mudah dan cocok untuk pemula bisnis online. Setelah anda memiliki keuntungan yang cukup dan ingin mengembangkan lebih jauh lagi, barulah mencoba reseller.
Terakhir dan yang penting adalah dalam melakukan Dropshipping, kita harus meminta izin kepada pemilik barang, bila perlu menggunakan perjanjian, termasuk harga jual harus disepakati agar hukum jual belinya menjadi Sah dan halal. Selain itu sebelum berdagang, sebaiknya kita belajar tentang Hukum jual beli, pasti semua agama memiliki aturan masing-masing.
Sumber :
https://sebodblog.blogspot.com/
https://muslim.or.id/45301-jual-beli-dengan-sistem-dropship.html
Masih banyak yang mengatakan bahwa dropship dan reseller adalah sama. Namun nyatanya dropship dan reseller merupakan dua hal yang berbeda, meskipun terdapat kesamaan dalam sistem kerjanya. Agar dapat lebih memahami perbedaan keduanya dengan benar, ada baiknya kita membahas pengertian dropship dan reseller terlebih dahulu.
Apa Itu Dropship dan Reseller?
Di artikel mengenai pengertian dropship, dijelaskan bahwa dropship adalah kegiatan menjual suatu barang/produk, dimana si penjual tidak memiliki persediaan/stok barang sama sekali. Sedangkan reseller adalah kegiatan menjual kembali suatu barang/produk yang dibeli dari supplier, dimana si penjual memiliki persedian/stok barang yang akan dijual. Dari pengertiannya saja anda pasti sudah mulai mengetahui perbedaannya, yakni terletak pada barang atau produk yang dijual. Apabila dropship tidak menyimpan barang/produk sebagai stok, maka seorang reseller memiliki barang/produk untuk dijadikan stok. Reseller ini juga biasa disebut dengan pengecer.
Sistem Kerja Dropship dan Reseller
Meskipun berbeda, namun cara kerja kedua bisnis online ini hampir sama. Untuk memahaminya, coba anda perhatikan dua gambar di bawah ini sebagai perbandingan.
Bila anda perhatikan cara kerja keduanya hampir mirp, namun terdapat sedikit perbedaan. Dalam kasus dropshipping (kegiatan dropship), konsumen memesan barang ke dropshipper (pelaku dropship) dan mentransfer uang, kemudian dropshipper akan melanjutkan pesanan dan menyerahkan uangnya ke supplier atau produsen atas nama konsumen, setelah itu supplier akan mengirimkan pesanan ke alamat konsumen.
Sedangkan dalam reseller, pelaku reseller harus membeli barang terlebih dahulu ke supplier atau prosuden untuk dijadikan stok. Kemudian reseller akan menjual kembali barang/produk yang baru saja dibeli. Bila ada konsmen yang membeli, maka reseller akan mengirimkan barang pesanan tepat ke alamat konsumen. Jadi dapat disimpulkan perbedaan yang paling utama antara dropship dengan reseller adalah, reseller harus menyediakan stok barang sedangkan dropship tidak. Selain itu reseller yang mendapat orderan dari konsumen, bisa langsung mengirimkannya tanpa harus menghubungi supplier. Sedangkan dropshipper yang mendapat orderan dari konsumen, akan memberitahukan supplier yang kemudian barang dikirim dari supplier.
Kelebihan dan Kekurangan Dropship Serta Reseller
Kelebihan dan kekurangan dropship
Bisnis dropship terkadang dikenal sebagai bisnis tanpa modal dan minim resiko kerugian, selain itu bisnis ini juga sangat diminati bagi mereka yang baru terjun ke dunia bisnis. Sebab sangat mudah dan dengan kelebihan yang ditawarkan. Berikut adalah beberapa kelebihan dari bisnis dropship:
Tidak memerlukan modal yang besar, bahkan bisa tanpa modal. Sebab dropshipper tidak perlu membeli stok barang sama sekali. Yang harus diperlukan hanyalah sebuah gadget (laptop, hp, dll) dan juga internet untuk mempromosikan produk.
Tidak repot mengurus barang atau urusan mengantar, cukup serahkan data pesanan ke supplier dan supplier yang menyelesaikannya.
Bila barang tidak laku, maka resiko kerugian sangat minim. Sebab kita tidak membeli persedian barang sama sekali.
Bisa mengganti supplier bila dirasa kurang cocok, dan bisa juga memiliki lebih dari satu supplier sesuai dengan keinginan. Selain itu pekerjaan ini bisa dilakukan kapanpun dan dimana pun.
Meskipun begitu bisnis dropship ini juga memiliki beberapa kekurangan, berikut kekurangannya:
Tidak tahu stok barang yang ready apa saja, sebab dropshipper tidak memiliki stok sama sekali dan jarang menemukan supplier yang menyediakan tabel stok secara online dan selalu update.
Karena tidak memegang barang langsung, maka dropshipper tidak mengetahui kualitas barang. Bisa saja barang yang dikirimkan memiliki cacat sedikit, atau salah kirim, dll. Sehingga resiko terkena komplain konsumen sangat tinggi.
Tidak memiliki kendali penuh terhadap stok dan tidak bisa mempromosikan barang secara langsung.
Selain itu terkadang ada juga konsumen yang minta difotokan langsung dengan produknya, sebab mereka sadar foto yang dipajang itu merupakan foto yang sudah di bookmark di online shop tertentu.
Keuntungannya tidak terlalu besar. Sebab dropshipper tidak bisa menaikan harga sesuka hati, karena akan merusak kepercayaan konsumen. Biasanya dropshipper hanya bisa menetapkan harga yang tak jauh dari harga yang ditetapkan supplier.
Kelebihan dan kekurangan reseller
Bisnis reseller ini bisa dikatakan pilihan bagi mereka yang menginginkan keuntungan yang lebih besar. Berikut adalah beberapa kelebihan reseller:
Karena barang ada di tangan, maka reseller mengetahui jumlah persediaan/stok barang, sehingga reseller bisa lebih leluasa untuk memberitahukan stok barang yang ready atau yang sold out.
Sangat percaya diri untuk menjual barang/produk. Sebab reseller mengetahui kualitas dan detail barang secara pasti, apakah ada kecacatan atau tidak, dan sebagainya.
Reseller diuntungkan dalam menjual barang/produk, karena bisa dilakukan secara online maupun offline. Dalam kegiatan promosi reseller juga bisa menawarkan barang/poduk secara langsung kepada konsumen.
Keuntungan yang didapat jauh lebih besar ketimbang dropship. Sebab reseller mendapatkan harga yang sangat kompetitif dari pembelian barang/produk dalam jumlah banyak kepada supplier. Sehingga reseller bisa menaikan selisih harga penjualan lebih tinggi dari dropship.
Selain itu diskon yang yang didapatkan reseller lebih besar dibandingkan dropshipper, sehingga keuntungan yang didapat menjadi bertambah.
Disamping banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh bisnis reseller, terdapat beberapa kekurangan yang perlu diketahui, diantaranya:
Modal yang dibutuhkan tidak sedikit, terkadang agak besar. Seperti modal untuk membeli persediaan barang/produk, membeli kemasan produk, dsb.
Harus repot dalam urusan membeli barang persediaan, proses pengemasan barang, serta pengiriman barang.
Reseller memiliki resiko kerugian yang tinggi dibandingkan dengan dropshipper. Sebab bila barang dagangan tidak laku, maka reseller akan mengalami kerugian yang cukup besar.
Seperti itulah perbedaan antara dropship dengan reseller. Sekarang mau pilih yang mana, itu tergantung kebutuhan anda. Bila anda masih baru dalam bisnis online dan dengan modal yang terbatas, mulailah dengan dropship terlebih dahulu. Sebab dropship sangat mudah dan cocok untuk pemula bisnis online. Setelah anda memiliki keuntungan yang cukup dan ingin mengembangkan lebih jauh lagi, barulah mencoba reseller.
Terakhir dan yang penting adalah dalam melakukan Dropshipping, kita harus meminta izin kepada pemilik barang, bila perlu menggunakan perjanjian, termasuk harga jual harus disepakati agar hukum jual belinya menjadi Sah dan halal. Selain itu sebelum berdagang, sebaiknya kita belajar tentang Hukum jual beli, pasti semua agama memiliki aturan masing-masing.
Sumber :
https://sebodblog.blogspot.com/
https://muslim.or.id/45301-jual-beli-dengan-sistem-dropship.html
Menentukan Goal Setting
Dalam dunia usaha kita memerlukan tujuan yang jelas, agar kita tetap berbisnis dengan semangat yang sama seperti saat kita mulai, karena bisnis itu ibarat lari maraton, bukan Sprint, perjalanannya mungkin jauh jadi perlu mengatur tenaga, Fokus, dan semangat untuk sampai di tujuan.
Itunya perlunya Goal Setting, kita tentukan mau sampai dimana, kita punya keinginan apa, yang bisa menjadi pengingat jika suatu saat Bisnis kita drop turun seperti saat terjadi Wabah Covid-19 ini.
Meskipun bisnis turun karena keadaan yang tidak bisa kita atur seperti wabah, tetapi keyakinan akan Goal yang jelas akan menguatkan kita kembali.
Dalam membuat Goal setting, kita perlu menghadirkan Hati, menghadirkan perasaan kita, bagaimana perasaan kita jika Goal itu tercapai, ataupun sebaliknya Bagaimana jika Goal itu gagal tercapai. Dengan menghadirkan bayangan dan perasaan akan mempermudah kita dalam mencapai Goal.
Tidak hanya didalam bisnis, tetapi dalam bidang yang lain pun kita perlu membuat Goal Setting. berikut ini ada Video yang Wajib ditonton, bagaimana menentukan Goal Setting.
Itunya perlunya Goal Setting, kita tentukan mau sampai dimana, kita punya keinginan apa, yang bisa menjadi pengingat jika suatu saat Bisnis kita drop turun seperti saat terjadi Wabah Covid-19 ini.
Meskipun bisnis turun karena keadaan yang tidak bisa kita atur seperti wabah, tetapi keyakinan akan Goal yang jelas akan menguatkan kita kembali.
Dalam membuat Goal setting, kita perlu menghadirkan Hati, menghadirkan perasaan kita, bagaimana perasaan kita jika Goal itu tercapai, ataupun sebaliknya Bagaimana jika Goal itu gagal tercapai. Dengan menghadirkan bayangan dan perasaan akan mempermudah kita dalam mencapai Goal.
Tidak hanya didalam bisnis, tetapi dalam bidang yang lain pun kita perlu membuat Goal Setting. berikut ini ada Video yang Wajib ditonton, bagaimana menentukan Goal Setting.
Video di atas hanya contoh ya, pasti kalian punya Goal masing-masing, misalnya membeli rumah, menikah, memberangkatkan umroh orangtua, dan lain-lain, jadi bisa disesuaikan.
Menghitung Angka Cukup
Bagaimana sih caranya menghitung angka cukup itu?
[Kisah Nyata] Saat ditanya ANGKA CUKUP untuk gaji mereka, seorang karyawan memerinci seperti ini:
1. Uang saku ke orang tua
2. Tabungan pernikahan
3. Cicilan rumah
4. Cicilan kendaraan
5. Ciclan hutang
6. Cicilan tabungan haji
Kalo semuanya dirinci seperti itu, maka akan semakin sedikit yang terpenuhi angka cukupnya. Jika Angka Cukup tak terpenuhi, maka KATA SYUKUR pun tak akan keluar. Jika kata syukur tak keluar, jangan berharap Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita.
Lalu seharusnya seberapa Angka Cukup itu?
Tergantung dari perhitungan versi mana. Jika mengacu kepada Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) berdasar Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012, menurut saya, sudah lebih dari sekadar Sandang - Pangan - Papan. Ada 60 item yang mewakili 7 poin standar ‘layak’, yaitu:
Makanan Minuman (11 items).
1. Sandang (13 items).
2. Perumahan (26 items).
3. Pendidikan (2 item).
4. Kesehatan (5 items).
5. Transportasi (1 item).
6. Rekreasi dan Tabungan (2 item).
Bahkan saat saya membaca poin Sandang:
Celana panjang / rok / pakaian muslim - 6 potong pertahun.
Kemeja lengan pendek / blouse - 6 potong pertahun
Sarung/kain panjang - 1 potong pertahun.
Saya langsung nyengir, ternyata kehidupan saya masih ‘dibawah layak’, karena saya:
Rata-rata dalam setahun membeli 3 celana, itu pun kebutuhan roadshow.
Kemeja tak pernah beli lagi dalam 3 tahun terakhir (bahkan lebih).
Dalam 10 - 15 tahun terakhir, saya hanya punya 3 sarung, padahal selalu dipakai sholat.
Harusnya standar KHL yang menjadi acuan penetapan UMR di Indonesia sudah mewakili Angka ‘Lebih dari Cukup’.
Terus kenapa BELUM ‘MERASA’ CUKUP?
Karena seiring pendapatan bertambah, bertambah pula KEINGINAN.
Keseharian naik bis, pengin punya motor.
Sepatu merek Bata, pengin ganti Adidas.
TV 21”, pengin upgrade 32”.
Kadang, penghasilan belum naik, sudah dibeli dengan cicilan. Alhasil kebutuhan terbesar adalah bayar hutang cicilan. Saya paham hal itu, karena saya juga pernah mengalaminya, selalu ingin lebih. Salahkah?
Tidak berani menyalahkan, hanya mensyaratkan: asalkan masih di batas kemampuan (tidak besar pasak dari tiang), tidak mubazir dan bukan untuk menunjukkan ‘KASTA’ kita. Membeli karena punya alasan kualitas dan fungsi, bukan karena gengsi. Hal cicilan, saya hanya setuju dalam konteks menyicil rumah, sisanya tidak. Itu pun tidak mutlak harus memiliki rumah sendiri, yang penting layak ditinggali. Saat menikah, saya juga belum memiliki rumah. Istri saya berkata, “Gak papa, kita nge-kos juga boleh, yang penting bersama”. Co cwiitt…
"Cukup itu berarti yang pokok aja ya Mas? Sandang, pangan, papan?".
SPP, dalam catatan (rumah) tak harus memiliki. Yang penting bisa buat tinggal. Syarat sandang adalah untuk menutup aurat. Jika penghasilan berlebih, beli yang bahannya nyaman, bukan karena gengsi. Makanlah karena bergizi dan rasa, bukan karena kasta.
Referensi artikel “Gengsimu Disini..”, silakan baca >> https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/search/…
https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/search/…
“Apakah harus beli pakaian sebulan sekali?”
Lha, saya aja dulu saat sekolah, beli baju setahun sekali. Sisanya dapat warisan baju kakak.
"Kalo memberi orang tua yang hidupnya bergantung kepada kita bagaimana?”
Nah, memberi dan menyenangkan orang tua itu sangat diutamakan, namun tetap dalam batasan kemampuan kita juga. Orang tua juga menginginkan rejeki yang halal dan berkah dari kita.
“Mengejar KATA CUKUP itu, sesulit mengejar KATA SYUKUR.”
Bagaimana dengan BIAYA PENDIDIKAN?
Alasan ini yang paling banyak jadi alibi orang tua. Haruslah balik ke materi ‘Makna Sukses’ lagi, agar mengerti seperti apa seharusnya pendidikan anak kita. Saya sih manut dengan pendapat, bahwa pendidikan yang wajib adalah:
Adab/akhlaq; baik kepada Allah, Rasul, orang tua, guru, dan sesama.
Hukum agama; mengetahui halal haramnya sesuatu perbuatan.
Sisanya bukan wajib, namun masuk kategori ‘boleh’ (mubah). Anak saya hanya sekolah formal sampai SD, setelah itu ikut komunitas home schooling. Tetap sekolah seminggu 2 kali, @ 3 jam per pertemuan. Uang sekolah 700 ribu rupiah perbulan. Kalau (pesantren) Kampung Juragan jadi, maka anak saya akan menjadi siswa pertama disana. Belajar tak harus di bangku sekolah. Sekolah belum tentu belajar. Dapatkan esensinya, bukan sekadar prestisenya.
Biasanya langsung ditimpali, “Sosialisasi bagaimana? Nanti jadi ‘kuper’ donk..!”.
Saya jawab, “Lebih baik anak saya KUPER, daripada SAPER”. Silakan datang dan jumpa anak saya, nilai sendiri apakah mereka kuper atau gak. Justru orang tua yang masih memikirkan pentingnya ‘ijazah’ dibanding ilmu, adalah orang tua predator, yang menyiksa anaknya sendiri. Perlukah internasional school? Saya prefer anak saya masuk pesantren, belajar bahasa arab agar bisa membaca kitab, daripada bahasa Inggris.
“Anak saya ingin jadi dokter. Biaya masuknya saja diatas 200 juta. Bagaimana donk..?”
Yaa kalau mampu, silakan. Kalau gak mampu, tapi masih punya cita-cita mulia untuk mengobati kaum dhuafa, bisa belajar pengobatan alternatif. Yang sering terjadi, profesi anak sebagai dokter menjadi KEBANGGAAN SEMU orang tua, sehingga menghilangkan esensi tujuan mulia seorang dokter. Hal ini didukung sistem kapitalis yang menjadikan rumah sakit sebagai bisnis yang menggiurkan.
Tak sadar kita sudah dikhotomi ‘Makna Sukses’ yang sesat, karena kiblatnya ke ‘barat’. Coba serong sedikit kekanan, biar ketemu Mekkah.
“Bicara Mekkah nih… saya punya cita-cita pengin naik haji..”
Bagus tuh, cita-cita wajib bagi seorang muslim. Hukum haji adalah wajib bagi ‘yang mampu’. Mari berdoa agar ‘dimampukan’. Jangan sampai ‘naik haji’ dijadikan alasan untuk menjadikan diri kita tidak ‘qona’ah’ (merasa cukup).
Lebih parah lagi, untuk mendapatkan uang kuliah, naik haji, dilakoni dengan korupsi, pungli, manipulasi, tipu-tipu dan cara haram lainnya. Seperti berwudlu dengan air kencing, tak akan mensucikan.
Baca lagi artikel ‘Makna Sukses’ disini >> https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/permalink/1756726354424061/
RUMUSNYA…
Ikhtiar + ibadah + Syukur = ditambah Nikmat
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat." ~ Quran.
Kecilkan angka cukupnya. Saat angka cukup terpenuhi, kata syukur terucap, maka nikmatnya ditambah. Kalo gak syukur alias kufur/ingkar, maka turunlah adzab.
Bagaimana yang sudah telanjur tinggi angka cukupnya?
Ada 2 cara:
Belajar ‘puasa’; menahan nafsu membeli diluar kebutuhan.
Menunggu bangkrut alias kepepet, sampai tak tersisa.
Tapi ada juga lho yang sudah kepepet, tetap saja masih gengsian. Itulah bahayanya penyakit gengsi, sukses baginya datang dari ‘pujian’ orang lain. Meski saat dia bangkrut, ‘si penonton’ tak turut melunasi hutangnya. Seolah ada bisikan, “Nanti apa kata orang..?!”.
TERAPI PENYAKIT GENGSI
- Pahami lagi ‘Makna Sukses’ yang sesungguhnya.
- Seringlah melakukan ‘pelayanan’ (khidmat) kepada sesama.
- Datangi kaum dhuafa, belikan nasi bungkus jika ada kelebihan uang.
- Kumpul dengan orang yang sevibrasi dalam kesederhanaan.
- Unfollow semua ‘akun hedon’ dan materialis.
- Ganti bisikan menjadi, “Pusing amat apa kata orang..!” atau sejenis yang ‘masa bodoh’.
- Hindari mall, baik offline dan online. Karena banyak yang ‘ngendon’ di rumah, paketnya gak berhenti datang, hahaha..
- Puasa, dzikir, ngaji yang rutin. Yang ini saya juga lagi belajar..
“Gengsi tak membuatmu kaya, tapi membuatmu sengsara..”
PROFESI MULIA PENGUSAHA
Bagaimana dengan PENGUSAHA, apakah hanya mengejar angka cukup saja? Pengusaha haruslah 'membantu orang lain mendapatkan angka cukupnya'. Bisnis adalah kendaraan, bukan tujuannya. Jangan terlena oleh kendaraan, sehingga lupa tujuan.
Seringkali saat ‘miskin’ punya tujuan mulia sebagai pengusaha, yaitu mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Namun setelah menyicipi nikmatnya kekayaan, lupalah akan tujuan yang semula. Kemudian….
Membayar gaji serendah mungkin.
Menjadikan karyawan ‘mesin uang’ perusahaan.
Menawar supplier dan kontraktor semurah mungkin.
Membayar tagihan selama mungkin, sampe kiamat.
Mencaplok ‘lahan rejeki’ orang lain.
Menjual-beli perusahaan, gak memikirkan nasib karyawan setelahnya.
“Yang penting aku senang, aku menang…!” (seperti lagu: Bento)
Itulah namanya KE-SE-RA-KAH-AN…!
UBAH TARGET PERUSAHAAN
Siapa sih yang mengajarkan kita untuk menargetkan naiknya penjualan tiap tahunnya?
Omset atau profit itu tujuan atau jalan?
Jika tujuannya mensejahterakan karyawan, mengentaskan kemiskinan, maka harusnya seperti ini targetnya….
Target ke luar:
- Mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri.
- Menaikkan indeks kepuasan pelanggan menjadi 90%
Karena dengan menaikkan konsumsi produk lokal (dibanding impor), maka akan menggerakkan perekonomian sekitar.
Target ke dalam:
- Menambah karyawan 20 orang pertahun.
- Meng-umroh-kan 5 karyawan pertahun.
- Memfasilitasi pembelian rumah karyawan, dengan masa bakti diatas 5 tahun.
Jika itu targetnya, menaikkan omset/profit akan menjadi jalan (misi) untuk mencapai target, bukan sebaliknya.
Ingat rumusnya: TUJUAN yang benar, baru rumuskan JALAN yang BERKAH.
Susah ya? Iyaa… karena sudah telanjur mengakar kesalahan ‘ideologi’ kita. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanya menjadi slogan yang diucapkan, bukan dilakukan. Butuh upaya yang besar untuk mengembalikan kemurnian Pancasila dalam kehidupan kita. Yuk mulai dari kita, karena ini amalan kita, bukan mereka.
Jika direnungkan kembali, ternyata 'CUKUP' itu adalah 'KATA', bukan soal 'ANGKA'.
ditulis oleh Jaya Setiabudi
Sumber : https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/permalink/1757838257646204/
[Kisah Nyata] Saat ditanya ANGKA CUKUP untuk gaji mereka, seorang karyawan memerinci seperti ini:
1. Uang saku ke orang tua
2. Tabungan pernikahan
3. Cicilan rumah
4. Cicilan kendaraan
5. Ciclan hutang
6. Cicilan tabungan haji
Kalo semuanya dirinci seperti itu, maka akan semakin sedikit yang terpenuhi angka cukupnya. Jika Angka Cukup tak terpenuhi, maka KATA SYUKUR pun tak akan keluar. Jika kata syukur tak keluar, jangan berharap Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita.
Lalu seharusnya seberapa Angka Cukup itu?
Tergantung dari perhitungan versi mana. Jika mengacu kepada Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) berdasar Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012, menurut saya, sudah lebih dari sekadar Sandang - Pangan - Papan. Ada 60 item yang mewakili 7 poin standar ‘layak’, yaitu:
Makanan Minuman (11 items).
1. Sandang (13 items).
2. Perumahan (26 items).
3. Pendidikan (2 item).
4. Kesehatan (5 items).
5. Transportasi (1 item).
6. Rekreasi dan Tabungan (2 item).
Bahkan saat saya membaca poin Sandang:
Celana panjang / rok / pakaian muslim - 6 potong pertahun.
Kemeja lengan pendek / blouse - 6 potong pertahun
Sarung/kain panjang - 1 potong pertahun.
Saya langsung nyengir, ternyata kehidupan saya masih ‘dibawah layak’, karena saya:
Rata-rata dalam setahun membeli 3 celana, itu pun kebutuhan roadshow.
Kemeja tak pernah beli lagi dalam 3 tahun terakhir (bahkan lebih).
Dalam 10 - 15 tahun terakhir, saya hanya punya 3 sarung, padahal selalu dipakai sholat.
Harusnya standar KHL yang menjadi acuan penetapan UMR di Indonesia sudah mewakili Angka ‘Lebih dari Cukup’.
Terus kenapa BELUM ‘MERASA’ CUKUP?
Karena seiring pendapatan bertambah, bertambah pula KEINGINAN.
Keseharian naik bis, pengin punya motor.
Sepatu merek Bata, pengin ganti Adidas.
TV 21”, pengin upgrade 32”.
Kadang, penghasilan belum naik, sudah dibeli dengan cicilan. Alhasil kebutuhan terbesar adalah bayar hutang cicilan. Saya paham hal itu, karena saya juga pernah mengalaminya, selalu ingin lebih. Salahkah?
Tidak berani menyalahkan, hanya mensyaratkan: asalkan masih di batas kemampuan (tidak besar pasak dari tiang), tidak mubazir dan bukan untuk menunjukkan ‘KASTA’ kita. Membeli karena punya alasan kualitas dan fungsi, bukan karena gengsi. Hal cicilan, saya hanya setuju dalam konteks menyicil rumah, sisanya tidak. Itu pun tidak mutlak harus memiliki rumah sendiri, yang penting layak ditinggali. Saat menikah, saya juga belum memiliki rumah. Istri saya berkata, “Gak papa, kita nge-kos juga boleh, yang penting bersama”. Co cwiitt…
"Cukup itu berarti yang pokok aja ya Mas? Sandang, pangan, papan?".
SPP, dalam catatan (rumah) tak harus memiliki. Yang penting bisa buat tinggal. Syarat sandang adalah untuk menutup aurat. Jika penghasilan berlebih, beli yang bahannya nyaman, bukan karena gengsi. Makanlah karena bergizi dan rasa, bukan karena kasta.
Referensi artikel “Gengsimu Disini..”, silakan baca >> https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/search/…
https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/search/…
“Apakah harus beli pakaian sebulan sekali?”
Lha, saya aja dulu saat sekolah, beli baju setahun sekali. Sisanya dapat warisan baju kakak.
"Kalo memberi orang tua yang hidupnya bergantung kepada kita bagaimana?”
Nah, memberi dan menyenangkan orang tua itu sangat diutamakan, namun tetap dalam batasan kemampuan kita juga. Orang tua juga menginginkan rejeki yang halal dan berkah dari kita.
“Mengejar KATA CUKUP itu, sesulit mengejar KATA SYUKUR.”
Bagaimana dengan BIAYA PENDIDIKAN?
Alasan ini yang paling banyak jadi alibi orang tua. Haruslah balik ke materi ‘Makna Sukses’ lagi, agar mengerti seperti apa seharusnya pendidikan anak kita. Saya sih manut dengan pendapat, bahwa pendidikan yang wajib adalah:
Adab/akhlaq; baik kepada Allah, Rasul, orang tua, guru, dan sesama.
Hukum agama; mengetahui halal haramnya sesuatu perbuatan.
Sisanya bukan wajib, namun masuk kategori ‘boleh’ (mubah). Anak saya hanya sekolah formal sampai SD, setelah itu ikut komunitas home schooling. Tetap sekolah seminggu 2 kali, @ 3 jam per pertemuan. Uang sekolah 700 ribu rupiah perbulan. Kalau (pesantren) Kampung Juragan jadi, maka anak saya akan menjadi siswa pertama disana. Belajar tak harus di bangku sekolah. Sekolah belum tentu belajar. Dapatkan esensinya, bukan sekadar prestisenya.
Biasanya langsung ditimpali, “Sosialisasi bagaimana? Nanti jadi ‘kuper’ donk..!”.
Saya jawab, “Lebih baik anak saya KUPER, daripada SAPER”. Silakan datang dan jumpa anak saya, nilai sendiri apakah mereka kuper atau gak. Justru orang tua yang masih memikirkan pentingnya ‘ijazah’ dibanding ilmu, adalah orang tua predator, yang menyiksa anaknya sendiri. Perlukah internasional school? Saya prefer anak saya masuk pesantren, belajar bahasa arab agar bisa membaca kitab, daripada bahasa Inggris.
“Anak saya ingin jadi dokter. Biaya masuknya saja diatas 200 juta. Bagaimana donk..?”
Yaa kalau mampu, silakan. Kalau gak mampu, tapi masih punya cita-cita mulia untuk mengobati kaum dhuafa, bisa belajar pengobatan alternatif. Yang sering terjadi, profesi anak sebagai dokter menjadi KEBANGGAAN SEMU orang tua, sehingga menghilangkan esensi tujuan mulia seorang dokter. Hal ini didukung sistem kapitalis yang menjadikan rumah sakit sebagai bisnis yang menggiurkan.
Tak sadar kita sudah dikhotomi ‘Makna Sukses’ yang sesat, karena kiblatnya ke ‘barat’. Coba serong sedikit kekanan, biar ketemu Mekkah.
“Bicara Mekkah nih… saya punya cita-cita pengin naik haji..”
Bagus tuh, cita-cita wajib bagi seorang muslim. Hukum haji adalah wajib bagi ‘yang mampu’. Mari berdoa agar ‘dimampukan’. Jangan sampai ‘naik haji’ dijadikan alasan untuk menjadikan diri kita tidak ‘qona’ah’ (merasa cukup).
Lebih parah lagi, untuk mendapatkan uang kuliah, naik haji, dilakoni dengan korupsi, pungli, manipulasi, tipu-tipu dan cara haram lainnya. Seperti berwudlu dengan air kencing, tak akan mensucikan.
Baca lagi artikel ‘Makna Sukses’ disini >> https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/permalink/1756726354424061/
RUMUSNYA…
Ikhtiar + ibadah + Syukur = ditambah Nikmat
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat." ~ Quran.
Kecilkan angka cukupnya. Saat angka cukup terpenuhi, kata syukur terucap, maka nikmatnya ditambah. Kalo gak syukur alias kufur/ingkar, maka turunlah adzab.
Bagaimana yang sudah telanjur tinggi angka cukupnya?
Ada 2 cara:
Belajar ‘puasa’; menahan nafsu membeli diluar kebutuhan.
Menunggu bangkrut alias kepepet, sampai tak tersisa.
Tapi ada juga lho yang sudah kepepet, tetap saja masih gengsian. Itulah bahayanya penyakit gengsi, sukses baginya datang dari ‘pujian’ orang lain. Meski saat dia bangkrut, ‘si penonton’ tak turut melunasi hutangnya. Seolah ada bisikan, “Nanti apa kata orang..?!”.
TERAPI PENYAKIT GENGSI
- Pahami lagi ‘Makna Sukses’ yang sesungguhnya.
- Seringlah melakukan ‘pelayanan’ (khidmat) kepada sesama.
- Datangi kaum dhuafa, belikan nasi bungkus jika ada kelebihan uang.
- Kumpul dengan orang yang sevibrasi dalam kesederhanaan.
- Unfollow semua ‘akun hedon’ dan materialis.
- Ganti bisikan menjadi, “Pusing amat apa kata orang..!” atau sejenis yang ‘masa bodoh’.
- Hindari mall, baik offline dan online. Karena banyak yang ‘ngendon’ di rumah, paketnya gak berhenti datang, hahaha..
- Puasa, dzikir, ngaji yang rutin. Yang ini saya juga lagi belajar..
“Gengsi tak membuatmu kaya, tapi membuatmu sengsara..”
PROFESI MULIA PENGUSAHA
Bagaimana dengan PENGUSAHA, apakah hanya mengejar angka cukup saja? Pengusaha haruslah 'membantu orang lain mendapatkan angka cukupnya'. Bisnis adalah kendaraan, bukan tujuannya. Jangan terlena oleh kendaraan, sehingga lupa tujuan.
Seringkali saat ‘miskin’ punya tujuan mulia sebagai pengusaha, yaitu mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Namun setelah menyicipi nikmatnya kekayaan, lupalah akan tujuan yang semula. Kemudian….
Membayar gaji serendah mungkin.
Menjadikan karyawan ‘mesin uang’ perusahaan.
Menawar supplier dan kontraktor semurah mungkin.
Membayar tagihan selama mungkin, sampe kiamat.
Mencaplok ‘lahan rejeki’ orang lain.
Menjual-beli perusahaan, gak memikirkan nasib karyawan setelahnya.
“Yang penting aku senang, aku menang…!” (seperti lagu: Bento)
Itulah namanya KE-SE-RA-KAH-AN…!
UBAH TARGET PERUSAHAAN
Siapa sih yang mengajarkan kita untuk menargetkan naiknya penjualan tiap tahunnya?
Omset atau profit itu tujuan atau jalan?
Jika tujuannya mensejahterakan karyawan, mengentaskan kemiskinan, maka harusnya seperti ini targetnya….
Target ke luar:
- Mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri.
- Menaikkan indeks kepuasan pelanggan menjadi 90%
Karena dengan menaikkan konsumsi produk lokal (dibanding impor), maka akan menggerakkan perekonomian sekitar.
Target ke dalam:
- Menambah karyawan 20 orang pertahun.
- Meng-umroh-kan 5 karyawan pertahun.
- Memfasilitasi pembelian rumah karyawan, dengan masa bakti diatas 5 tahun.
Jika itu targetnya, menaikkan omset/profit akan menjadi jalan (misi) untuk mencapai target, bukan sebaliknya.
Ingat rumusnya: TUJUAN yang benar, baru rumuskan JALAN yang BERKAH.
Susah ya? Iyaa… karena sudah telanjur mengakar kesalahan ‘ideologi’ kita. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanya menjadi slogan yang diucapkan, bukan dilakukan. Butuh upaya yang besar untuk mengembalikan kemurnian Pancasila dalam kehidupan kita. Yuk mulai dari kita, karena ini amalan kita, bukan mereka.
Jika direnungkan kembali, ternyata 'CUKUP' itu adalah 'KATA', bukan soal 'ANGKA'.
ditulis oleh Jaya Setiabudi
Sumber : https://www.facebook.com/groups/ForumJayaSetiabudi/permalink/1757838257646204/
Makna Sukses
Apa sih deskripsi atau skala sukses itu menurut Anda?
“Dia orang sukses, aku ingin seperti dia”. Kenapa ‘dia’?
Apakah karena dia seorang pengusaha yang cabang waralabanya sudah ratusan outlet, punya mobil sport, rumah mewah dan popularitas? Atau karena perusahaan digitalnya barusan dibeli ratusan miliar?
Jika itu standarisasi sukses menurut Anda, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana dengan seorang buruh bangunan yang penghasilannya rendah. Apakah mereka tak bisa disebut sukses?”.
Bisa jadi dibalik kisah sukses si pengusaha waralaba tersebut, banyak ‘tumbal mitra’ yang dirugikan, banyak janji-janji yang diingkari. Mungkin Anda tak tahu, dibalik kepemilikan mobil dan rumah mewah, dia harus ‘menyikut’ rekan bisnisnya, putusnya silaturahim dengan saudaranya, demi mengejar ambisi kata ‘sukses’.
Bisa jadi si buruh bangunan saat ia pulang rumah dengan pakaian berkeringat, bau tak sedap, membawa tahu petis untuk keluarganya, kemudian ia disambut anak-anaknya bak ‘pahlawan’. Apakah dia tidak disebut sukses?”.
Sukses manakah antara si pengusaha dengan si buruh bangunan?
Anggaplah si pengusaha sudah kaya, dermawan, sholeh lagi. Sisi mana yang membuat Anda menilai kesuksesan dia? Kaya atau kesholehannya?
Bagaimana dengan...
Guru miskin di pedesaan yang mengajar sepenuh hati, sukseskah mereka?
Kyai pesantren yang hidupnya pas-pasan, namun santrinya ribuan. Tak bisa disebut sukses?
Ibumu yang hanya ibu rumah tangga. Gak sukses juga?
Karyawan yang loyal berjuang bersama Anda. Tumbal kesuksesan Anda kah?
Mungkin kita tak menyadari, bahwa standarisasi ‘sukses’ di benak kita selama ini dilandaskan atas materi semata. Hampir semua seminar motivasi, pelatihan bisnis, termasuk juga Entrepreneur Camp yang saya buat sejak 2006, menggiring ‘makna sukses’ itu dengan pencapaian materi, seperti rumah mewah, mobil mahal, penghasilan miliaran perbulan dan bentuk materi lainnya. Astaghfirullaah… #insaf
SUKSES DINILAI ORANG
materialisme/ma·te·ri·al·is·me/ /matérialisme/ n pandangan hidup yang men-cari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. (KBBI)
Di jaman media sosial lebih terasa bahayanya faham materialisme. Jika jaman dahulu namanya gengsi itu linier terhadap geografis (perjumpaan fisik), sekarang bisa eksponensial, karena faktor ‘share’ dan dunia maya. Dahulu hanya tetangga dan orang terdekat yang kita temui secara fisik yang bisa ‘dipameri’, sedangkan sekarang para ‘audiens 5 inch’ seolah menjadi juri kesuksesan kita. Jika ‘fondasi nilai’ tak kuat, maka kesuksesan seseorang disetir oleh penilaian orang lain. “Apa kata orang, kalau lihat aku seperti ini..?”
Demi penilaian orang lain, membeli barang-barang ‘bergengsi’, bukan ‘berfungsi’. Materialisme tak sadar menambah kerakusan dan menggerogoti rasa syukur kita. Materialisme bukan milik si kaya, buruh pun ‘memaksakan diri’ membeli iphone, demi terlihat ‘keren’. Tunggakan hutang semakin besar, demi memuaskan audiens 5 inch.
PENYEBAR VIRUS MATERIALISME
Dari mana datangnya penyakit materialistis? Siap-siap meradang saat membacanya. MOTIVATOR dan jaringan MLM yang menggunakan ‘kebendaan’ sebagai simbol sukses adalah salah dua penyebar virus yang tokcer; rumah mewah, mobil sport, jalan-jalan keluar negeri, kapal pesiar, kapal keruk (#buset). Selain itu juga artis, INFLUENCER, SELEBGRAM, YOUTUBER yang memamerkan gaya hidup hedon dan gemerlap. “Bagaimana pemilik stasiun TV yang menyiarkan tayangan infotainment?”. Wah, kalo itu mah dedengkotnya iblis; ngerusak masyarakat secara masal dan singkat.
Jika pencapaian MATERI menjadi tolak ukur KESUKSESAN, maka KESERAKAHAN menjadi mesinnya, MANIPULASI adalah bahan bakarnya dan KAPITALIS adalah sistemnya.
“Aku gak ‘merasa’ menipu koq”. Lha iya, perasaanmu udah jebol jee. Tahunya “Pokoknya bagaimana aku harus ‘terlihat’ sukses ?”, tak peduli korban-korban di sekitarmu.
“Aku emang bohong ‘kecil’, tapi aku tak berniat merugikan mereka. Toh, ini kan STRATEGI PEMASARAN”. Itulah awal dari pergeseran nilai. Maling besar juga dimulai dari maling kecil. Para Koruptor juga awalnya bukan ‘peminta’, tapi ‘penerima’ dari atasan. Hingga perlahan materi memanjakan mereka. Uenak tenan…
BEDAKAN KENDARAAN DAN TUJUAN
Makna sukses seperti kompas hidup kita. Jika salah memahami makna sukses, maka kita akan salah arah. Jika salah memilih role model bagi kita dan anak-anak kita, maka siap-siap tersesat dan mengorbankan orang lain. Nabi Muhammad SAW ‘memilih’ miskin; meskipun Gunung Uhud pun ditawarkan diubah menjadi emas dan menjadi miliknya. Nabi Isa AS yang diberikan mukjizat menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, tidak juga ‘memilih’ jalan kaya. Bahkan Sidarta Gautama melengserkan dirinya sebagai putra mahkota dan hidup sangat ala kadar. Kenapa umat mereka memilih kaya raya?
“Tapi kalau kita bisa kaya raya, kan bisa bantu banyak orang?”. Biasanya orang yang berkata begitu, akan terlena jika ia kaya dan akan oportunis/manipulatif dalam proses menuju kaya. Karena tak bisa membedakan mana TUJUAN dan mana KENDARAAN.
Jika bermanfaat bagi banyak orang adalah tujuan kita, tak perlu menunggu kaya. Target utamanya bukanlah omset/profit, tapi “Berapa banyak orang miskin yang bisa kuentaskan?”, dengan ijin Allah tentunya.
Jika TUJUAN kita Mengentaskan Kemiskinan, maka jalan yang kita tempuh tak boleh yang berlawanan dengan tujuan tersebut. Alias menjaga keberkahan dalam setiap prosesnya.
Misalnya Anda dihadapkan oleh suatu pilihan dalam menjalankan bisnis Anda:
A. Beli mesin; produksi lebih banyak, profit lebih besar.
B. Menggunakan tenaga manusia; banyak drama, lebih lambat, profit lebih kecil.
Anda akan memilih mana? Ya tergantung tujuan utama yang tersembunyi di hati kecil Anda.
Jika memang tujuan kita MENJADI JEMBATAN REJEKI bagi orang lain, maka drama karyawan adalah proses yang harus kita jalani sebagai bagian dari IBADAH kepada Allah. Andai dikarenakan menjadi jembatan, kemudian Allah memberikan kelimpahan pada kita, itu adalah BONUS, bukan tujuan utama.
Saya belajar dengan waktu dan kejadian, kilauan materi tersebut membuat saya ambisius dan membahayakan orang-orang di sekitar saya. Setelah satu persatu impian saya terpenuhi, tak hadir juga rasa syukur itu. Yang ada semakin ‘rakus’ ingin mendapatkan lebih dan lebih. Selain nafsu pemenuhan pribadi, juga nafsu untuk ‘dinilai’ orang lain. Hingga di suatu titik, saya tersadar, bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang semu.
Kebangkrutan panjang yang saya alami, berusaha mereset ‘penghambaan’ saya terhadap manusia. Awalnya protes kepada Allah, namun sekarang semakin menikmati, karena ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada saya. Saya belum sepenuhnya kembali ke jalan yang benar, in syaa Allah tetap menuju kesana..
Jangan biarkan orang lain membentuk 'MAKNA SUKSESMU'. Karena dirimu sendiri yang tahu 'Makna Sukses SEJATIMU'. Orang SUKSES adalah orang yang MERDEKA dari penilaian orang lain.
Benarkah kita mengimani hadits “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”....? Atau hanya sekadar menjadi slogan nasehat bagi orang lain, bukan bagi kita sendiri?
Jika standar sukses berubah, maka kesuksesan itu bisa kita pungut di sekitar kita saat ini, bukan nanti..!
Seperti kata Om Bob, “Sukses bagiku, bisa makan sepiring nasi hari ini”.
Jadi… Apa Makna Sukses Anda?
ditulis Oleh Jaya Setiabudi
“Dia orang sukses, aku ingin seperti dia”. Kenapa ‘dia’?
Apakah karena dia seorang pengusaha yang cabang waralabanya sudah ratusan outlet, punya mobil sport, rumah mewah dan popularitas? Atau karena perusahaan digitalnya barusan dibeli ratusan miliar?
Jika itu standarisasi sukses menurut Anda, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana dengan seorang buruh bangunan yang penghasilannya rendah. Apakah mereka tak bisa disebut sukses?”.
Bisa jadi dibalik kisah sukses si pengusaha waralaba tersebut, banyak ‘tumbal mitra’ yang dirugikan, banyak janji-janji yang diingkari. Mungkin Anda tak tahu, dibalik kepemilikan mobil dan rumah mewah, dia harus ‘menyikut’ rekan bisnisnya, putusnya silaturahim dengan saudaranya, demi mengejar ambisi kata ‘sukses’.
Bisa jadi si buruh bangunan saat ia pulang rumah dengan pakaian berkeringat, bau tak sedap, membawa tahu petis untuk keluarganya, kemudian ia disambut anak-anaknya bak ‘pahlawan’. Apakah dia tidak disebut sukses?”.
Sukses manakah antara si pengusaha dengan si buruh bangunan?
Anggaplah si pengusaha sudah kaya, dermawan, sholeh lagi. Sisi mana yang membuat Anda menilai kesuksesan dia? Kaya atau kesholehannya?
Bagaimana dengan...
Guru miskin di pedesaan yang mengajar sepenuh hati, sukseskah mereka?
Kyai pesantren yang hidupnya pas-pasan, namun santrinya ribuan. Tak bisa disebut sukses?
Ibumu yang hanya ibu rumah tangga. Gak sukses juga?
Karyawan yang loyal berjuang bersama Anda. Tumbal kesuksesan Anda kah?
Mungkin kita tak menyadari, bahwa standarisasi ‘sukses’ di benak kita selama ini dilandaskan atas materi semata. Hampir semua seminar motivasi, pelatihan bisnis, termasuk juga Entrepreneur Camp yang saya buat sejak 2006, menggiring ‘makna sukses’ itu dengan pencapaian materi, seperti rumah mewah, mobil mahal, penghasilan miliaran perbulan dan bentuk materi lainnya. Astaghfirullaah… #insaf
SUKSES DINILAI ORANG
materialisme/ma·te·ri·al·is·me/ /matérialisme/ n pandangan hidup yang men-cari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. (KBBI)
Di jaman media sosial lebih terasa bahayanya faham materialisme. Jika jaman dahulu namanya gengsi itu linier terhadap geografis (perjumpaan fisik), sekarang bisa eksponensial, karena faktor ‘share’ dan dunia maya. Dahulu hanya tetangga dan orang terdekat yang kita temui secara fisik yang bisa ‘dipameri’, sedangkan sekarang para ‘audiens 5 inch’ seolah menjadi juri kesuksesan kita. Jika ‘fondasi nilai’ tak kuat, maka kesuksesan seseorang disetir oleh penilaian orang lain. “Apa kata orang, kalau lihat aku seperti ini..?”
Demi penilaian orang lain, membeli barang-barang ‘bergengsi’, bukan ‘berfungsi’. Materialisme tak sadar menambah kerakusan dan menggerogoti rasa syukur kita. Materialisme bukan milik si kaya, buruh pun ‘memaksakan diri’ membeli iphone, demi terlihat ‘keren’. Tunggakan hutang semakin besar, demi memuaskan audiens 5 inch.
PENYEBAR VIRUS MATERIALISME
Dari mana datangnya penyakit materialistis? Siap-siap meradang saat membacanya. MOTIVATOR dan jaringan MLM yang menggunakan ‘kebendaan’ sebagai simbol sukses adalah salah dua penyebar virus yang tokcer; rumah mewah, mobil sport, jalan-jalan keluar negeri, kapal pesiar, kapal keruk (#buset). Selain itu juga artis, INFLUENCER, SELEBGRAM, YOUTUBER yang memamerkan gaya hidup hedon dan gemerlap. “Bagaimana pemilik stasiun TV yang menyiarkan tayangan infotainment?”. Wah, kalo itu mah dedengkotnya iblis; ngerusak masyarakat secara masal dan singkat.
Jika pencapaian MATERI menjadi tolak ukur KESUKSESAN, maka KESERAKAHAN menjadi mesinnya, MANIPULASI adalah bahan bakarnya dan KAPITALIS adalah sistemnya.
“Aku gak ‘merasa’ menipu koq”. Lha iya, perasaanmu udah jebol jee. Tahunya “Pokoknya bagaimana aku harus ‘terlihat’ sukses ?”, tak peduli korban-korban di sekitarmu.
“Aku emang bohong ‘kecil’, tapi aku tak berniat merugikan mereka. Toh, ini kan STRATEGI PEMASARAN”. Itulah awal dari pergeseran nilai. Maling besar juga dimulai dari maling kecil. Para Koruptor juga awalnya bukan ‘peminta’, tapi ‘penerima’ dari atasan. Hingga perlahan materi memanjakan mereka. Uenak tenan…
BEDAKAN KENDARAAN DAN TUJUAN
Makna sukses seperti kompas hidup kita. Jika salah memahami makna sukses, maka kita akan salah arah. Jika salah memilih role model bagi kita dan anak-anak kita, maka siap-siap tersesat dan mengorbankan orang lain. Nabi Muhammad SAW ‘memilih’ miskin; meskipun Gunung Uhud pun ditawarkan diubah menjadi emas dan menjadi miliknya. Nabi Isa AS yang diberikan mukjizat menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, tidak juga ‘memilih’ jalan kaya. Bahkan Sidarta Gautama melengserkan dirinya sebagai putra mahkota dan hidup sangat ala kadar. Kenapa umat mereka memilih kaya raya?
“Tapi kalau kita bisa kaya raya, kan bisa bantu banyak orang?”. Biasanya orang yang berkata begitu, akan terlena jika ia kaya dan akan oportunis/manipulatif dalam proses menuju kaya. Karena tak bisa membedakan mana TUJUAN dan mana KENDARAAN.
Jika bermanfaat bagi banyak orang adalah tujuan kita, tak perlu menunggu kaya. Target utamanya bukanlah omset/profit, tapi “Berapa banyak orang miskin yang bisa kuentaskan?”, dengan ijin Allah tentunya.
Jika TUJUAN kita Mengentaskan Kemiskinan, maka jalan yang kita tempuh tak boleh yang berlawanan dengan tujuan tersebut. Alias menjaga keberkahan dalam setiap prosesnya.
Misalnya Anda dihadapkan oleh suatu pilihan dalam menjalankan bisnis Anda:
A. Beli mesin; produksi lebih banyak, profit lebih besar.
B. Menggunakan tenaga manusia; banyak drama, lebih lambat, profit lebih kecil.
Anda akan memilih mana? Ya tergantung tujuan utama yang tersembunyi di hati kecil Anda.
Jika memang tujuan kita MENJADI JEMBATAN REJEKI bagi orang lain, maka drama karyawan adalah proses yang harus kita jalani sebagai bagian dari IBADAH kepada Allah. Andai dikarenakan menjadi jembatan, kemudian Allah memberikan kelimpahan pada kita, itu adalah BONUS, bukan tujuan utama.
Saya belajar dengan waktu dan kejadian, kilauan materi tersebut membuat saya ambisius dan membahayakan orang-orang di sekitar saya. Setelah satu persatu impian saya terpenuhi, tak hadir juga rasa syukur itu. Yang ada semakin ‘rakus’ ingin mendapatkan lebih dan lebih. Selain nafsu pemenuhan pribadi, juga nafsu untuk ‘dinilai’ orang lain. Hingga di suatu titik, saya tersadar, bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang semu.
Kebangkrutan panjang yang saya alami, berusaha mereset ‘penghambaan’ saya terhadap manusia. Awalnya protes kepada Allah, namun sekarang semakin menikmati, karena ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada saya. Saya belum sepenuhnya kembali ke jalan yang benar, in syaa Allah tetap menuju kesana..
Jangan biarkan orang lain membentuk 'MAKNA SUKSESMU'. Karena dirimu sendiri yang tahu 'Makna Sukses SEJATIMU'. Orang SUKSES adalah orang yang MERDEKA dari penilaian orang lain.
Benarkah kita mengimani hadits “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”....? Atau hanya sekadar menjadi slogan nasehat bagi orang lain, bukan bagi kita sendiri?
Jika standar sukses berubah, maka kesuksesan itu bisa kita pungut di sekitar kita saat ini, bukan nanti..!
Seperti kata Om Bob, “Sukses bagiku, bisa makan sepiring nasi hari ini”.
Jadi… Apa Makna Sukses Anda?
ditulis Oleh Jaya Setiabudi
Langganan:
Postingan (Atom)