Selasa, 17 Desember 2013

Ironi, “Guru”



Sore saat makan malam muncul sebuah obrolan dengan Ayah dan Ibu. Obrolan dimulai saat Ayah memberi masukan kepada  ibu untuk menjadi guru berprestasi, yang mampu membawa murid2 ibuku yang hanya sedikit menjadi yang terbaik saat ujian nasional. Ibuku seorang Guru di SD pinggiran. Memang siswa di kelas Ibu hanya sedikit, tak lebih dari 7 orang, tetapi tahun ini Ibu mendapatkan siswa yang berpotensi, antusias dan aktif mengikuti pembelajaran. Situasi ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mendorong siswa mendapatkan prestasi yang bagus dan menunjukkan bahwa SD yang di pinggiran mampu bersaing dengan sekolah yang lebih berkualitas.
Obrolan berlanjut saat aku menanyakan tentang bagaimana kalau siswa yang memiliki potensi itu ikut dilombakan pada olimpiade siswa? Ibu mengatakan bahwa siswa telah berada di kelas 6, sehingga tidak dapat menjadi perwakilan sekolah di olimpiade, kemudian aku lanjut bertanya bagaimana dengan siswa yang berada dikelas bawahnya? Apakah juga berpotensi? Namun, justru Ibu berkeluh tentang kemampuan siswa yang kurang, boro2 untuk mengikuti olimpiade, bahkan untuk mengikuti pelajaran juga susah. Aku sangat menyayangkan keluhan Ibu, menurutku tidak semestinya Guru berpandangan seperti itu pada siswa, misal untuk olimpiade, siswa dapat dipersiapkan jauh-jauh hari, jika memang Guru mempunyai impian membawa siswanya berprestasi. Tentunya tidak mudah dan membutuhkan kerja yang lebih extra.
Keluhan ibu mengingatkanku tentang tulisan yang pernah kubaca mengenai cara pandang negatif kebanyakan guru kita mengenai siswa. Banyak Guru yang mengeluhkan bahwa siswa yang diajarnya kurang pandai, bandel, susah diatur.
Ironis memang, karena pada dasarnya tidak ada siswa yang bodoh, semua siswa itu memiliki potensi yang luar biasa, namun setiap siswa memiliki motivasi, kreativitas, jenis kemampuan, dan cara belajar yang berbeda-beda, sehingga di sini peran Guru-lah yang penting untuk memahami karakter siswa dan mencari cara terbaik untuk menyampaikan materi sekaligus menjadi fasilitator terbaik bagi siswa dengan mengetahui cara belajarnya. Dengan pendekatan yang lebih, siswa juga akan terangkat motivasi belajarnya karena merasa diperhatikan oleh Guru. Guru sering terjebak pada pandangan kalau siswa bodoh dan tidak dapat menerima pembelajaran dengan baik. Cara pandang Guru yang seperti ini semakin membenamkan potensi siswa karena terlanjur mendapat cap bodoh dari Guru. Siswa menjadi semakin Ogah mendengar yang disampaikan guru. Menurutku guru adalah seniman, siswa itu media karyanya, dan cara mengajar, pendekatan pembelajaran adalah proses berkarya. Perlu kreativitas, kerja extra, dan ketekunan untuk menciptakan Maha Karya. Kalaulah Guru tidak menjadi seniman yang berani bermimpi, menanamkan sikap dan cara pandang yang positif pada dirinya sendiri, siapakah yang akan menciptakan perubahan pendidikan di Negeri ini? Akankah pendidikan kita terus seperti ini? Kapan akan lahir Maha Karya guru yang kelak menjadi pemimpin yang baik untuk Negeri Kita tercinta ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar